Kalau ada profesi yang tidak perlu gencar melakukan promosi marketing, mungkin salah satunya adalah dokter. Dan kalau berbicara profesi dan perusahaan apa yang tidak menerapkan promosi marketing bahkan malah membuat persuasi yang bertentangan dengan teori marketing itu sendiri, jawabannya juga sama adalah dokter. Yang kedua mungkin Rumah Sakit dan perusahaan PLN.
Nah, terkait dengan seorang dokter dan rumah sakit, saya punya pengalaman mengantar anak saya pergi berobat ke dokter di sebuah Rumah Sakit swasta yang cukup terkenal dan favorit di Jogja karena sangat terkenal dengan pelayanannya yang bagus dan peralatan medisnya yang cukup lengkap. Rumah Sakit yang menjadi langganan saya, termasuk semua anggota keluarga saya kalau sedang sakit akan berobat kesana. Saya jadi ingat dengan kata-kata Lisha, kawan blogger saya yang pernah mengomentari posting saya yang berjudul Saya Mirip Tukang Rombeng Apa Orang Smart? Yang mengatakan kalau orang terlalu pintar malah bikin mumet karena banyak pertimbangan. Dan sekarang, boleh dong saya beropini kalau orang semakin tua dan makin pintar akan cenderung rewel dan cerewet. Benar, tidak?
Dan hari ini saya baru mendapat beberapa pelajaran berharga dari seorang dokter tua berumur sekitar 50-an tahun tetapi pintar karena saya lihat cukup banyak embel-embel gelarnya di depan dan belakang namanya. Profesor, Dr, DTMH, DSAK dan PhD. Dan satu lagi saya tambahkan gelarnya, cerewet. Maaf, saya bilang cerewet tapi memang kenyataannya demikian. Namun saya sportif, tidak mau menampik, mengakui kalau apa yang dicerewetin ke saya semuanya itu benar. Dan ini adalah kelima pelajarannya yang bisa saya petik agar anda tidak mengulang kesalahan sama seperti yang sudah saya lakukan.
1. Peduli Dengan Anak
Anak saya yang berumur 7 tahun kebetulan lagi sakit panas dan muntah-muntah selama dua hari. Kalau biasanya yang mengantar dan mendampingi periksa ke dokter adalah istri saya, maka kali ini saya sendiri, bapaknya. Sewaktu dokter bertanya ke saya berapa kali muntah-muntahnya dalam sehari, saya tidak bisa menjawab kemudian telpon ke istri saya. Dan dokter tersebut berkata ke saya: “Pak, lain kali kalau mengantar anaknya ke dokter itu Ibunya atau siapa aja yang tahu kondisi persis sakit anaknya. Kalau seperti ini, kan susah gimana saya bisa mengetahui penyakitnya kalau informasinya tidak jelas?” Saya kemudian berusaha membela diri sedikit dengan mengatakan: “Ibunya sedang mengantar anak saya yang kecil sekolah, Dok sehingga saya sendiri yang mesti mengantar.” Jawab saya sedikit malu ditodong dengan pernyataan seperti itu. Pelajaran pertama. Jangan diulang kesalahan saya, ya yang kurang peduli dengan sakit anaknya. Atau kalau bisa sebelum ke dokter mesti nanya-nanya istri dulu secara persis sakitnya apa dan tolong hafalin biar tidak gelagap-gelagap kalau sedang ditanya dokter. He…He…
2. Jaga Kesehatan
Ini yang saya bilang di muka kalau dokter adalah profesi yang tidak menerapkan promosi marketing bahkan malah membuat persuasi yang bertentangan dengan teori marketing itu sendiri. “Tolong dijaga kesehatan anaknya agar tidak sering sakit-sakit, “ begitu pesan dokternya pada saya. “Nah, kalau saya selalu menjaga kesehatan dan tidak sering sakit berarti jarang ke dokter, kan Dok?” kataku dalam hati. Lha memang iya kan? Orang sakit adalah sama seperti omzet kalau dalam perusahaan Retail. Sama juga seperti prospek kalau dalam perusahaan asuransi. Dia menyuruh saya menjaga kesehatan berarti bertentangan dengan kenyataan bahwa dia, para dokter dan Rumah Sakit yang secara kenyataan, kecuali RSU karena disubsidi pemerintah, bisa tetap eksis karena dapat pemasukan dari pasien yang berobat, kan? Dan maaf, beberapa Rumah Sakit malah sudah ada yang benar-benar berani mengkomersialkan orang sakit. Menyuruh orang untuk opname atau rawat inap padahal sebenarnya dengan rawat jalan saja sudah cukup. Dan fakta lain, ada yang mengganti nama rumah sakitnya menjadi Rumah Sakit dengan embel-embel Internasionalnya padahal bukan. Nah, sekali lagi sebuah pelajaran, jaga kesehatan.
3. Diagnosa
Saya sekeluarga kebetulan ikut program asuransi Medicare, tepatnya perusahaan tempat saya bekerja yang mengangsuransikannya. Kebiasaan yang tidak boleh saya lupakan sebagai syarat claim asuransi saya adalah selalu minta kwitansi, diagnosa dan copy resep setiap kali ke dokter. Ngomong-ngomong masalah diagnosa, saya baru ngeh sekarang setelah dokter menjelaskan ke saya. Sebenarnya diagnosa itu hanya untuk kalangan medis, tidak boleh pasien minta hasil diagnosanya ke dokter. Makanya dia heran dan mempertanyakan, kok perusahaan asuransi saya minta diagnosa itu. Saya tidak tahu apa memang benar seperti ini ketentuannya. Dan lebih lanjut dokternya menjelaskan kepada saya, kalau seorang dokter terjadi salah dalam memberikan diagnosa itu bisa dituntut di pengadilan dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda senilai Rp 200 juta. Nah, dengan saya minta diagnosa tersebut, dokter punya peluang untuk saya tuntut jika terbukti diagnosa yang diberikan salah. Makanya di lembar yang menyatakan diagnosa tersebut, saya diminta oleh dokternya agar ikut tanda tangan juga yang intinya menyatakan tidak keberatan dengan diagnosa tersebut.
Weleh-weleh, bagaimana saya bisa nuntut, lha wong saya sendiri juga gak mudeng istilah medis, tulisan dokter juga rata-rata pakai huruf latin yang susah untuk dibacanya. He….He… Saya sebetulnya mau bilang jelek kok pekewuh, takut nanti Mbak Vicky, kawan blogger saya yang kebetulan seorang dokter juga tiba-tiba mampir dan membaca posting ini bisa gawat nanti. Pelajaran ketiga, jangan mengeluh kalau pelayanan di rumah sakit lama karena dokter ternyata butuh ketelitian untuk mendiagnosa masing-masing pasiennya.
4. Mentang-mentang Asuransi
Masih terkait dengan diagnosa, sewaktu saya minta ke dokternya, dokternya bertanya kepada saya: “Mana form claim asuransinya yang harus saya isi?” Begitu tanyanya. “Tidak ada, Dok. Saya sudah sering berobat kesini, bahkan hampir sebulan sekali dan biasanya oleh dokter yang meriksa cukup ditulis di salah satu lembaran kertasnya, Dok,” kataku menjelaskan. “Ah, dokter ini benar-benar rewel dan cerewet. Lain kali saya akan bawa formnya biar tidak protes melulu, “ kataku dalam hati sedikit menggerutu. “Jangan pernah merasa karena sudah diasuransikan terus sedikit-sedikit berobat ke dokter, “ Mungkin itu sindirannya yang dilontarkan pada saya sewaktu menceritakan hampir sebulan sekali berobat ke dokter. Padahal maksud saya cerita seperti itu untuk menegaskan ke dia kalau dokter lainnya tidak nanya-nanya detil seperti ini. Kenapa dia, kok beda sendiri. Pelajaran keempat, lain kali jangan lupa membawa form asuransinya.
5. Surat Dokter
Saya sebenarnya tidak minta surat dokter buat ijin ke sekolah anak saya. Tapi dokter tanpa saya minta memberikan surat ijin kepada anak saya. “Sebenarnya kalau anak-anak yang sakit yang terpenting bukan surat ijin seperti ini tapi seharusnya ada komunikasi dari orang tua anak ke gurunya di sekolah. Itu yang lebih penting.” Kata dokter tersebut kembali menceramahi saya. Pelajaran kelima, selalu menjaga hubungan dengan guru anak di sekolah.
Inilah kelima pelajaran yang saya dapat hari ini, saat mengantar anak saya berobat ke rumah sakit. Mudah-mudahan anda yang membaca posting ini tidak mengulang beberapa kesalahan saya dan mengerti bahwa menjadi dokter seharusnya memang seperti itu, harus teliti, detil dan terkadang harus cerewet.
Rabu, 18 November 2009
5 Pelajaran Dari Seorang Dokter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pengalaman yang lucu mas..
BalasHapuswakakaka....
tpi meskipun begitu ada pelajaran yg bisa diambil...
makasi uda dishare infonya :D
tpi sebelummnya,aku pengen ketawa lagi...
wakakkakaka..
jd inget lagunya supersonik,judulnya pacarku cerewet..
tpi kalo yang ini dokterku cerewet..
hahaha....
Hihihi.. Lucu :)
BalasHapusSaya hanya menduga kalau "kecerewetan" pak Dokter itu beliau lakukan tiap hari. Dan memang ada gunanya.
Bersyukur Pak Joko (benar begitu nama sampeyan?) bisa berbaik sangka. Semoga yang lain juga begitu, meski di awal ada rasa tak enak :)
Terima kasih Mas Phuad dan Mas Mardies. Memang kalau saya ingat-ingat lagi lucu juga. He....He.... Meski awalnya sempat kesel juga dicerewetin begitu.
BalasHapusloh.. loh...
BalasHapusitu koq ada nama saya??
hahahaha..
maaffff... lama nggak ngiderrr... jd nggak tau deh perkembangan mas Untung.
point yang pertama itu loohh.. knp sih ibu lebih tau dan peduli dengan kesehatan anak?? (biar ibu yg wanita karir sekalipun, kyknya kepeduliaannya sm anak lbh tinggi drpd bapak)
ahh.. jangan di bilang krna ibu pnya lbh byk waktu untuk anak2nya. krna seharusnya jg bapak bisa kan meluangkan waktu lbh byk untuk peduli dengan anak? (tak harus deketan terus).
ah knpa saya malah ngedumel en terkesan menghakimi gini yah??
maafff.... mas Untungggg.. saya nggak sengaja.
tp akhirnya sidokter yang bergelar banyak (dan mendapat gelar dadakan dari sampeyan) itu bisa menyadarkan mas Untung toh??
syukurlah..
anaknya sakit apa emang mas?
Semoga sehat selalu deh buat anaknya, jgn atit2an lagi (kyk kt pak doktel). biar jadi anak yang menyenangkan dan membawa kesukaan buat bapak ibunya. amiiiinnn!!!
aaahhhh jadi panjanggg... udah ya.. saya mau bertapa lagi :D :D
Artikelnya menarik sekali euy...
BalasHapusMemang dlm anamnesa dengan pasien anak2, dokter akan menanyakan dengan metode hetero anamnesa (wuih.. apaan tuh...) yaitu dengan mewawancari ibu atau pengasuhnya... krn merekalah yang mengerti ttg apa yang dialami si anak. Betul tidak?
Mengenai masing dokter kok kebiasaannya beda.. ya wajar lah. Tidak ada satupun yang sama di dunia ini. Termasuk sifat seorang dokter. Ada yg dokter cm cari duit, ada pula yang ga butuh duit. Itu aja udah beda. Ada yg menjaga prestise dan prestasi, ada pula yg asal2an.
Sekarang jaman lagi gencar2nya isu mal praktek. Makanya dokter mesti hati2 dengan tingkah dan ulah pasien/keluarga pasien yang kreatif. He3.
Jiaho
Terima kasih, Lis untuk doanya buat anak saya. Silahkan dilanjutkan bertapanya. Nanti kalau sudah dapat wangsit cepat kembali, ya? He...He...
BalasHapusindomp3, dengan saya tulis kisahnya disini berarti saya termasuk kreatif, ya?