Dalam sebuah kesempatan training motivasi yang pernah saya ikuti awal tahun 2007 lalu di Jakarta, Krishnamurti pernah mengatakan pada kami agar jangan pernah memberikan senyum tak tulus kepada seorang pelanggan. Mengapa? Sebab senyum tak tulus atau palsu bisa terlihat di mata orang lain. Senyum tak tulus bisa ditangkap karena auranya terpancar berada di sekitar Anda. Begitu pesannya.
Sama seperti perkataan Krishnamurti, pesan moral dalam cerita dari email yang dikirim oleh seorang kawan saya ini juga hampir sama, ada baiknya Anda juga jangan memandang rendah orang dari penampilan luarnya saja tetapi harus tetap menghargai setiap orang dengan tulus apapun penampilannya. Tulisan curhat dari seorang Pramugari China ini saya nggak tahu apakah Anda sudah pernah membacanya atau belum. Jika misalnya belum, saya persilahkan Anda untuk membacanya! Semoga tulisan ini bisa menggugah hati Anda.
Pelajaran Buat Sang Pramugari
Saya adalah seorang pramugari biasa dari China Airline, karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton.
Pada tanggal 7 Juni yang lalu saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya.
Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking, penumpang sangat penuh pada hari ini.
Diantara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya, pada saat itu saya yang berdiri dipintu pesawat menyambut penumpang kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.
Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman, ketika melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku ditempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung.
Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak, kami hendak membantunya meletakan karung tua diatas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang, menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang ditempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya.
Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet tetapi dia takut apakah dipesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang didalam pesawat.
Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet, pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang disebelahnya dan menelan ludah, dengan tidak menanyakannya kami meletakan segelas minuman teh dimeja dia, ternyata gerakan kami mengejutkannya, dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah, pada saat ini dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami, kami menjelaskan kepadanya minumannya gratis, dia tidak percaya, katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan dipinggir jalan dia tidak diladeni malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil, karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minunam kepada penjual makanan dipinggir jalan itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis.
Setelah kami membujuk dia terakhir dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya.
Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah ditingkat tiga di Peking. anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal dikota akhirnya pindah kembali ke desa, sekali ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking, anak sulungnya tidak tega orang tua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Peking, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal dia bersikeras dapat pergi sendiri akhirnya dengan terpaksa disetujui anaknya.
Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan dibandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut ditempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri, katanya jika ditaruh ditempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur, akhirnya kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.
Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar, saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil? dan meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget.
Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa dimata seorang desa menjadi begitu berharga.
Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang ditaruh didalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut, tetapi diluar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri, perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.
Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut dan menyembah kami, mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak, hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian.
Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya.
Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seseorang anggota yang bekerja dilapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.
Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam-ragam penumpang sudah saya jumpai, yang modern, yang kaya raya, yang pejabat, yang pengusaha, yang sangat terhormat, yang sangat terpelajar, ternyata mereka banyak tingkah, cerewet, angkuh, senyum dan ucapan terimakasihnya hanya basa-basi belaka, penuh kepalsuan dan lain-lain,
tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami, kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua miskin yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih yg tulus, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya,
perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya dimasa datang yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dengan tulus dan mensyukuri apa yang sudah kita dapat.
Sungguh luar biasa berharga pelajaran yg sudah saya terima……….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya bisa membedakan mana senyum tulus mana senyum palsu. Bibir bisa dibikin-bikin untuk tersenyum, tapi senyum dari mata tidak bisa dipalsukan.
BalasHapusSaya kasihan kepada orang-orang yang harus mengerjakan pekerjaannya dengan monoton. Kebosanan bisa menghilangkan senyum dari mata orang itu.
Sangat menyentuh, Mas! Dahsyat pokoknya!!! Terima kasih atas cerita yang menginspirasi ini. :)
BalasHapusVicky Laurentina:
BalasHapusPekerjaan Mbak Vicky sebagai seorang Dokter yang sehari-hari harus berhadapan dan melayani banyak orang dengan berbagai macam karakter, saya yakin sudah mengajarkan banyak bagaimana contoh senyum palsu dan senyum yang tulus. He...He...
Anis Fahrunisa:
Bukannya saya sok melankolis, jujur mata saya juga berkaca-kaca saat pertama kali membaca kisah itu, Mas Anis.
boleh ndak kupostkan nih artikel d FBku mas. nih artikel bt nih mata smp merah (tumben bgt melankolis gn), sapa tau by org sdar stlah bc artikel ini
BalasHapuslovelife:
BalasHapusSilahkan share. Saya juga dapatnya dari email yang dikirim teman saya. Semoga bisa menginspirasi.
Hanya satu kalimat: Saya terharu dan tersentuh membacanya heeheee...
BalasHapus*Ini komentar basa-basi bukan ya? :roll:
Rismaka:
BalasHapusBukan, Mas Adi. Rasanya itu bukan sebuah komentar basa-basi.
thanx artikelnya very2 inspiratif boz :D
BalasHapus