Apakah Anda termasuk orang Jawa dan juga sama termasuk para orang tua sama seperti saya? Saya ingin bertanya kepada Anda, masihkah Anda mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anak Anda? Pertanyaan saya yang ketiga, jika Anda bukan orang Jawa, saya pun juga ingin bertanya kepada Anda, masihkah Anda mengajarkan bahasa ibu Anda kepada anak-anak Anda? Tolong Anda jawab dengan jujur!
Benar, kan sepertinya Anda juga sudah mulai enggan mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak Anda. Dan lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa asing yang lebih keren dan punya gengsi ketimbang bahasa ibu yang dianggap sebagian besar keluarga modern sudah ndeso dan katrok. Betul?
Anda tak perlu gusar menerima pertanyaan-pertanyaan saya yang mencecar Anda. Mengapa? Karena sebagai orang tua saya pun sama termasuk orang yang gagal mengajarkan bahasa ibu (Jawa) kepada anak-anak saya.
Anda ingin buktinya? Bukti bahwa bahasa Jawa sebentar lagi akan punah karena mulai ditinggalkan para penuturnya? Saya ada buktinya sekarang. Kalau dulu di artikel saya sebelumnya saya sempat menulis dengan menganalogikan bahasa ibu sebagai anak tiri yang kini mulai dianaktirikan para orang tua, baca artikel saya "Bahasa Ibu, Anak Tiri Yang kini Benar-benar Dianaktirikan" maka faktanya kali ini benar-benar ada di depan mata saya. Ya, bahasa Jawa sebentar lagi akan punah justru ironinya di lokasi yang merupakan pusat peradaban Jawa. Yaitu di kota Yogyakarta.
Saya ada cerita sedikit tentang kisah ulangan di sekolah anak saya di Yogyakarta, tempat tinggal saya. Anak saya yang kelas 3 SD baru saja selesai Ulangan Semester kemarin dan menceritakan ke saya kalau nilai bahasa daerahnya (bahasa Jawa) jeblok hanya dapat nilai 6. Dan saya semakin terkejut waktu anak saya menceritakan ke saya kalau dari 38 anak di kelas hampir semua nilai bahasa daerahnya dapat nilai di bawah angka 5 semuanya. Sehingga, terpaksa harus mengikuti ujian ulang (her). Anak saya dapat nilai 6 dan satu temannya lagi dapat nilai 7. Anda tahu itu adalah 2 anak dengan nilai terbaik diantara 38 anak yang kesemua nilainya jeblok sehingga harus mengulang ujian.
Gila tidak? Anak-anak SD di sekolahan yang rata-rata orang tuanya adalah orang Jawa, kok bisa nilai bahasa Jawa anaknya jeblok sampai sedemikian parah? Apa itu bukan bukti bahwa bahasa Jawa memang mulai ditinggalkan para penuturnya? Buktinya anak-anak Jawa mulai tidak bisa berbahasa Jawa. Buktinya ulangan bahasa daerah tidak ada satu pun nilainya yang memuaskan.
Anda masih ingin contoh bukti yang lain? Faktanya menurut data dari UNESCO, setiap tahun ada 10 bahasa daerah yang punah. Dan pada akhir abad 21 ini diperkirakan laju kepunahan akan lebih cepat lagi sampai hampir separuh dari 6000-an bahasa ibu di seluruh dunia terancam punah.
Dari 6000 bahasa daerah itu, sekitar separuhnya adalah bahasa yang dengan jumlah penuturnya tidak sampai 10.000 orang. Padahal, salah satu syarat lestarinya bahasa adalah jika jumlah penuturnya mencapai 100.000 orang. Kesimpulannya, semua itu biang keladinya adalah semakin sedikitnya para penutur yang enggan untuk memakai bahasa-bahasa ibu bersangkutan.
Hem, satu pertanyaan saya yang untuk terakhir kali di tulisan ini, jika bukan saya dan Anda yang turut serta melestarikan bahasa ibu kita masing-masing lantas siapakah yang harus melestarikannya? Apakah jadinya nasib bahasa Jawa atau bahasa ibu (daerah) umumnya 10 tahun kedepan? Jika Anda pun tetap tak peduli jangan salahkan kalau bahasa ibu pelan namun pasti akan hilang satu persatu dari kekayaan bahasa di negeri ini.
Sumber Foto: China Cart
pertamax dulu
BalasHapusya saya orang jawa, JAWA BARAT, bahasa daerah: SUNDA
BalasHapusJujur saja....saya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. :D
adeTruna:
BalasHapusTerima kasih atas jawaban Anda yang jujur.
Saya Dayak dan Istri Jawa, anak-anak pernah diajarkan bahasa Dayak tetapi mereka menolak dan sekarang tidak diajari lagi. Bahasa Jawa justru diajarkan oleh Mbah putri mereka.
BalasHapusCuma sayang, dari dua putri saya hanya yang bungsu bisa berbahasa Jawa.
saya bukan orang jawa tapi saya pernah tinggal di lingkungan yang kebanyakan penghuninya adalah orang jawa saat masih kecil (sebelum masuk sd). Kami sama pendatang. Ya, sedikit2 saya tahu bahasa jawa [itu dulu]
BalasHapusSaya belum punya anak dan masih berumur 14 tahun, maksudku umur saya 20 tahunan gitu. Jadi saya tidak begitu tahu apakah bahasa ibu saya udah mulai punah. Dalam keluarga saya, semuanya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari di rumah, yaitu bahasa TORAJA.
Masalahnya sekarang, entah kenapa, saya sudah mulai tidak begitu fasih berbahasa TORAJA karena selama 5 tahun ini tinggal di Manado, saya jarang sekali ketemu dengan orang yang bisa berbahasa Toraja dan mulai tenggelam dengan bahasa Manado.
Di manado orang2 menggunakan bahasa manado: Di Sekolah, Kampus, Kantor-kantor, di manapun, orang2 selalu menggunakan bahasa manado. Mungkin bahasa manado dengan bahasa daerah lainnya agak berbeda karena hampir mirip dengan bahasa indonesia. Tapi ada juga kata2 yang aneh yang terselip di antara bahasa indonesia dan kadang2 juga ada bahasa asing yang bukan lagi dianggap bahasa asing tapi bahasa manado.
Inti komen saya cuma ini:
O iyo, so lama kang kita nyanda pasiar kamari, mar boleh jo de pe share, ta fans pa ini tulisan. M'ner Joko so kase inga akang pa torang samua jang lupa tu torang pe bahasa daerah. {Manado}
Masai duka tae' ku rampo inde', melo duka tu apa diparampo inde te', ku porai ia basai. Pong Joko pakilalai ki' dau ta rampanan ni tu bahasa daeranta. {Toraja}
[oh iya, lama juga tidak berkunjung kemari, tapi boleh juga, aku suka sama tulisan ini. [pak] Guru Joko sudah kasih ingat kita jangan lupa sama bahasa daerah kita]
Memang buda ku tammui pia totemo moka' mo ia ma' basa daera. [memang banyak anak2 jaman sekarang sudah tidak mau lagi menggunakan bahasa daerah]
Adakah yang mau menyusul berbagi bahasa daerah??
loh iya ya?
BalasHapusTadinya saya mengira kalau bahasa jawa itu dalam keadaan baik-baik saja, heee).
Di Lombok, bahasa Sasak yang halus (kromo inggil kalau di sini), tidak lagi diajarkan--sangat-sangat jarang dipakai.
seumur-umur saya cuma dapat materi itu sewaktu kelas satu SMP saja. mata pelajaran juga terkesan dianaktirikan dibanding mata pelajaran yang lain.
sampai sekarang saya (dan mungkin banyak teman seusia saya) sama sekali tak menguasai bahasa sasak yang alus itu. blank pokoknya. (parah kan?)
saya rasa mengandalkan intitusi formal (kurikulum sekolah) untuk melestarikan bahasa daerah tidaklah tepat. bahasa kan kebiasaan...
*sepertinya, mempelajari bahasa apapun (entah bahasa inggris, arab, dll), memang tidak pernah berhasil kalau cuma lewat kurikulum sekolah.
aldy~PF:
BalasHapusKita sama-sama orang tua, Mas Aldy. Yang terpenting kita sudah berusaha untuk mengajari anak-anak kita dengan bahasa daerah dan tidak melupakan bahasa warisan moyang kita.
Keluarga Mas Aldy adalah perkawinan multi etnis, tentu sangat tidak mudah mengajarkan 3 bahasa sekaligus. Yaitu 2 bahasa ibu (Dayak+Jawa) sekaligus bahasa Indonesia.
Saya baru tahu sekarang kalau Mas Aldy asli Kalimantan. Dulu saya pikir orang Jawa yang perantauan ke sana.
iroee:
Senang sekali dan saya bangga mendengar Mas Iroee masih berbahasa daerah Toraja di rumah dan mau sedikit menuliskannya di sini. Jarang sekali remaja seusia Mas Iroee masih mau bertahan menggunakan bahasa daerah. Yang banyak malah lebih suka berbahasa asing biar dianggap intelek, pinter dan modern.
Huda Tula:
Kurang tepat kalau hanya mengandalkan bahkan menyalahkan kurikulum pelajaran bahasa daerah di sekolah, betul saya juga berpendapat demikian, Mas Huda. Tanggung jawab tertinggi mengajarkan bahasa daerah itu ada di pundak kedua orang tua, bukan pada sekolah. Itu yang paling tepat.
Terdengar aneh dan ironi sekarang ini banyak anak-anak dan para remaja yang mahir berbahasa Inggris, Arab, Mandarin, Perancis dll tapi bahasa Ibunya sendiri tak bisa. :(
Hem, saya baru tahu Mas Huda dari sana, suku Sasak dari Lombok.
Jangan-jangan nanti tahun 2020 kita mesti belajar bahasa Jawa ke Belanda. Atau bahkan Suriname?
BalasHapusSaya dari Sunda, istri dari Jawa. Belum kefikiran nanti diajarin bahasa daerah apa ya anak saya?
BalasHapusBahasa HTML? oh tidaaak! haha.
Patut direnunkan hal2 yang Pak Joko ungkap di atas. Saya ga bisa membayangkan nanti kita yang malah berguru bahasa Jawa ke Belanda, karena mereka yang terus konsen mempelajari bahasa ini. Ckckck. Apakah bangsa kita seperti ini? Yang lalu kebakaran jenggot bila sesuatunya hilang? Wake up Indonesia!
Aku dewe yo bingung mas piye carane yo? boso Jowo ben ora punah.
BalasHapusMenurutku memang sebaiknya anak-anak tidak hanya diperkenalkan tapi diajarkan dengan benar, kalau perlu diwajibkan dirumah pakai bahasa Ibu? saya sendiri tinggal di ibu kota serba sulit karena lingkungan sekitar pasti pakai bahasa nasional dan terkadang anak-anak pakai istilah slank dan bahasa gaul elo, gue dsb. akhirnya kembali ke orang tua, kalau nggak ingin kehilangan bahasa Ibu tinggal mau berusaha atau tidak?
sama nasib bahasa sunda juga :)
BalasHapusjadi bahan rennga juga buat kita-kita :)
Agus Siswoyo:
BalasHapusSemoga saja tidak benar-benar begitu, Mas Agus Siswoyo. Sedih kalau bahasa daerah akhirnya punah dan hanya menjadi teks book saja. :(
Darin:
Sekali lagi saya baru tahu kalau Mas Darin asli Sunda. Saya pikir wong Solo asli. Ternyata masih satu saudara dengan Mas Yuda dan Mas Andi Sakab. :))
Kasusnya ini sama dengan keluarga Mas Aldy, perkawinan multi etnis. Jadi tentu tak mudah mengajarkan 2 bahasa ibu dan bahasa Indonesia sekaligus. Terus mungkin masih ditambah satu lagi, mengajarkan bahasa asing nantinya.
Agus BF:
Posisi Mas Agus juga tidak mudah karena lingkungannya orang Jakarta yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia logat Betawi. Jadi ini sama seperti melawan arus. Ya, minimal sehari-hari di rumah bisa dicampur bahasanya, Mas Agus, diselingi pakai bahasa Jawa agar anak-anak bisa mengucapkan dan mengerti bahasa Jawa.
Andi Sakab:
Ya, Mas Andi patut direnungkan. Kalau bukan orang tua seperti kita yang peduli, terus siapa lagi.
Kalau ingin bahasa daerah bertahan, seharusnya dibuat jelas fungsinya.
BalasHapusMaksud saya begini. Kita belajar bahasa Inggris, karena banyak pengetahuan (ilmu, tutorial) berbahasa Inggris. Banyak yang belajar Jepang karena ingin bisa membaca anime edisi langsung Jepang. Belajar bahasa Arab untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Pertanyaannya, kenapa orang harus belajar bahasa daerah? Kalau tujuannya hanya sekadar melestarikan, mungkin hanya segelintir yang mau.
Jeprie:
BalasHapusSaya jadi gantian bertanya juga kalau begitu. Berarti intinya selama mempelajari bahasa itu tak akan memberikan fungsi apa-apa maka tak perlu dipelajari lagi walaupun itu bahasa ibu (daerah) kita sendiri?
Pendapat seperti ini memang fakta namun sekaligus ironi yang semakin membuat saya semakin sedih. Mungkin saatnya nanti contoh pagelaran wayang di Jawa pun sudah tidak perlu pakai bahasa Jawa lagi, tapi pakai bahasa Indonesia atau bahkan Inggris saja. Atau bahkan sudah tak perlu lagi karena sudah dianggap ketinggalan jaman dan tidak ada gunanya lagi.
Buat apa mempelajari budaya dan mengerti bahasa Jawa kalau hanya sekedar buat nonton wayang saja? :(
Jujur saja, kedua orang tua saya juga orang jawa Asli. tapi kami sebagai anak-anaknya lebih banyak bicara bahasa Indonesia, sehingga kami kurang menguasai bahasa jawa secara fasih. saya rasa ini juga harus menjadi perhatian banyak pihak, agar bahasa jawa tidak punah..
BalasHapusandry sianipar:
BalasHapusTidak ada kata terlambat untuk mencoba memulai belajar kembali bahasa Jawa, Mas Andry terlebih native speakernya, yaitu kedua orang tua Mas masih ada. :)
Bukan begitu?
Suatu hal yang menyedihkan memang, seharusnya bahasa daerah apapun itu tetap dilestarikan.
BalasHapusKebetulan saya orang Aceh & sebisa mungkin anak-anak saya sekurang-kurangnya dapat mengerti apa yang orang tua ucapkan dalam bahasa daerah.
Tapi terkadang generasi yang muda sepertinya gengsi menggunakan bahasa daerah, kurang keren & kampungan katanya. WTF. Bisa-bisa Bahasa Jawa diklaim sama negara lain baru mereka rame-rame menggunakan Bahasa Jawa. wkwkwkwkkkk...
Saat ini, orang-orang menggunakan bahasa daerah karena berguna dalam proses komunikasi sehari-hari.
BalasHapusSeandainya kebanyakan orang sudah tidak lagi menggunakan bahasa daerah, lambat laun penggunanya pun akan berkurang. Ini proses alami, tidak bisa menyalahkan siapa pun. Sesuatu yang tidak berguna pasti akan hilang dengan sendirinya.
Saya tambah begini Pak Joko. Bagaimana jika ada banyak acara TV atau berita menarik yang menggunakan bahasa daerah? Tentunya minat belajar bahasa daerah akan makin tinggi.
Saya ambil contoh Bahasa Arab. Para ulama dahulu sengaja mengumpulkan sajak-sajak zaman jahiliyah, sebelum ada Islam. Mereka melakukan ini bukan atas alasan romantisme sejarah tapi karena ada fungsi penting. Ini dilakukan untuk membantu memahami kata-kata dalam al-Quran yang tidak dipahami dalam konteks Bahasa Arab sekarang.
Bahasa Arab tidak akan pernah musnah karena memang fungsinya sangat penting. Salah penafsiran satu kata dalam al-Quran dalam pandangan orang Islam berakibat fatal.
Bahasa Inggris kurang lebih sama. Semua orang mau belajar bahasa Inggris karena memang ilmu pengetahuan banyak ditulis dalam Bahasa Inggris.
Pertanyaannya bisakah bahasa daerah memiliki fungsi seperti ini?
Rudy Azhar:
BalasHapusSeringkali memang begitu, Mas Rudy. Kita baru merasa memiliki dan menyesalinya setelah kehilangan. Kasus Batik dan Angklung yang diklaim negara Malaysia itu salah satu contohnya. Kita baru tergerak untuk turut peduli dan melestarikannya setelah diambil orang.
Mas Rudy dari Aceh rupanya, saya baru tahu. Saya pikir orang asli Medan.
Jeprie:
Proses punahnya satu persatu bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa nantinya sesuai data UNESCO memang sudah tercatat dan sudah bisa diprediksi karena semakin sedikitnya para penutur yang menggunakannya. Saya tidak menyanggah itu Mas Jepri karena itulah kenyataannya.
Nasib bahasa daerah mungkin senasib dengan jurusan sastra di universitas yang kurang diminati calon mahasiswa karena mungkin dipikir hanya mendidik orang jadi sastrawan atau penulis saja. Apa untungnya?
Saat ini kalau TV lokal masih banyak menyiarkan siaran dengan bahasa lokal. Kalau di Jogja ada Jogja TV dan juga TVRI Jogja masih menyiarkan siaran berbahasa Jawa dan menyiarkan kesenian2 Jawa. Di Jawa Timur ada JTV yang masih menyiarkan siaran berbahasa Jawa, juga kesenian lokal seperti ludruk dll.
Terima kasih buat poin tambahannya, Mas Jeprie.
MisterXWebz come back again mas Joko, Happy New Year mas....
BalasHapusWah, diskusi di atas menarik sekali. Saya mau menambahkan sedikit saja. Bahasa menunjukkan bangsa. Kalau bahasa yang bersangkutan sudah musnah, saya nggak yakin identitas bangsa masih bisa dipertahankan. Tutorial boleh bahasa asing, namun bahasa komunikasi tetep njawani.
BalasHapusNggak lucu dong kalau beli cabe ke pasar menawar pakai bahasa: How much does it cost?
Everybody...!!!
BalasHapusSelamat Tahun Baru 2011
*wah, ternyata sebelumnya saya login dengan akus lain*
iroee=imroee
salah ketik, akun lain maksudnya.
BalasHapusJangankan anak2, yg sudah dewasa kalau sudah merantau ke Kota besar spt Jakarta, pulang ke kampung aja dah lu gue lu gue, aq yo bingung je..., apa perlu ya mata pelajaran Bahasa Daerah di Sekolah2 terutama di kota besar ?
BalasHapusMisterXWebz:
BalasHapusSelamat datang kembali, Mister. Selamat tahun baru 2011. Sukses selalu di tahun yang baru.
Agus Siswoyo:
Betul juga yang dikatakan Mas Agus Siswoyo, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Terima kasih untuk poin tambahannya, Mas.
imroee:
#Sama-sama, Mas Imroee. Selamat tahun baru 2011 juga. Sukses, ya.
#Sudah kuduga sebelumnya jangan-jangan iroee=imroee habis mirip nicknamenya? :) Dan ternyata benar. Terima kasih, Mas. Senang akhirnya bisa tahu asalnya Mas Imroee. Dan senang dengan saya menulis artikel ini akhirnya jadi tahu betapa beragamnya asal suku daerah kawan2 blogger saya.
Lintang Hamidjoyo:
Untung saya di Jakarta ndak lama jadi ndak terkontaminasi dengan bahasa lo dan gue2. Tapi seandainya bisa tinggal di Amrik beberapa lama mungkin saya justru senang agar Inggris saya jadi terasah kembali. Pelajaran bahasa daerah mestinya ya tetap perlu no, Mas. Sampai kapan pun kecuali kalau bangsa kita memang berniat melupakan akar budayanya.
Nderek urun Rembak.. sewu lepat nyuwun pangapunten nggih Pak Joko..
BalasHapusBahasa sehari-hari dirumah saya adalah bahasa jawa "Ngoko".. Memang saya akui bahwa bahasa jawa kita sudah mulai meredup. Kemungkinan orang "tidak" atau kurang tertarik lagi menggunakan bahasa jawa karena sifat bahasanya yang rumit dan kurang Demokratis alias membedakan kasta.
Sebagai contoh :
1.Bapak kula sawek "dahar".
2.Kula sawek "maem".
3.Lha nek kowe lagi "mbadok".... wkwkwk
Dimana :
dahar,maem,mbadok artinya adalah makan.
Sepindah malih nyuwun pangapunten menawi dalem kurang sopan.
tonykoes:
BalasHapusMatur sembah nuwun, Mas Tonykoes. Saya malah pekewuh kalau diajak boso begini sama jenengan :"> He He He. Terus terang meski saya menulis ini kemampuan berbahasa Jawa saya juga standar, belum fasih banget, terlebih kalau diminta untuk boso kromo inggil.
Ya, betul bahasa Jawa ada kasta-kasta bahasanya. Ini beda dengan bahasa lainnya. Juga punya huruf sendiri dengan angkasara hanacaraka-nya. Apa mungkin ini, ya Mas Tonykoes yang membuat orang jadi enggan belajar bahasa Jawa?
Di sunda juga ada sistem kasta pak. Maksudnya perbedaan bahasa bergantung pada orang yang diajak bicara kan?
BalasHapusMisalnya makan. Dengan orang tua jadi neda, dahar untuk sesama, tuang sedikit lebih halus, barang hakan untuk hewan.
Dulu guru bahasa sunda saya bilang cuma bahasa sunda yang ada sistem perbedaan kata. ternyata bahasa Jawa juga sama ya. Mungkin dia kurang wawasan.
Jeprie:
BalasHapusBetul, Mas Jeprie. Kasta bahasa kurang lebih seperti itu maksudnya. Dan dalam bahasa Jawa ada 3 tingkatan Kasta bahasa. Bahasa Jawa Ngoko (rendah), Kromo Madya (sedang) dan Kromo Inggil (tertinggi).
Saya pun baru tahu sekarang kalau bahasa Sunda juga ada Kasta bahasanya.
wahhhhh aq sebagai wong jowo tulen katrokpun sependapat kaliyan panjenengan kang.....
BalasHapusnamungan kulo radhi dhereng saget nerapaken ingkang pinampi pakuliahan lan organisasi wonten kuliah(huft susah diterapkan sekarang bahkan dikampus yang mayoritas orang jawa makenya ajah bahasa indo)
catatan punya kang kira:
BalasHapusMas Aditya, itulah faktanya bahkan itu terjadi di lokasi atau tempat orang Jawa
aku suka bingung kl baca komen2 di FB yg pake basa jawa .. untuk tulis2an lebih mudah pakai bhs Indonesia bahkan bahasa Inggris .. bhs jawa lebih enak untuk lesan .. tp mmg katrok hehe ..
BalasHapuselsa:
BalasHapusLha, Mbak Elsa sendiri termasuk orang apa? Bukan dari Jawa?
Aku wong Jowo saiki manggon ning Banjarmasin, KalSel. Ning Banjar iki, wong2e ngomong nganggo boso Banjar. Pendatang2nya banyak yang berusaha bisa bhs. Banjar, dadi ning Banjar ki gampang nggolek uwong sing ngomong Banjar nanging logate Jowo utowo Meduro. Keadaan yang berbeda terjadi di Banjarbaru. Di sini bhs. Banjar mulai luntur, karena 60% penduduknya berasal dari Jawa.
BalasHapusSakjane boso Jowo wis tau ilang seko Tanah Jawa, persise ning Tapal Kuda (JaTim ngetan). Ning kono iku wiwit mbiyen wong Meduro akeh sing ngenger mrono, dan orang2 Jawa di sana pun 'dimadurakan' dalam 2-3 generasi. Keseniannya juga hibrida Jawa-Madura, contone koyo ludruk boso Meduro.
Kalo dari kejadian di sekolah anak sampeyan itu sebenarnya fenomena yg sudah dari dulu terjadi. Sejak saya SD udah gitu.Termasuk saya salah satunya :p
BalasHapusPermasalahannya, pengajaran bahasa jawa alus(krama inggil) disekolah sama sekali tidak serius, tidak seperti bahasa inggris atau bahasa indonesia, karena di anggap nya anak2 itu sudah tahu. Padahal tidak semua seperti itu. Misalnya seperti saya, biarpun sejak lahir saya tinggal di Jawa, saya tidak mahir berbahasa krama inggil. Memang saya bukan asli Jawa sih..(ibu Sumatera, bapak saya yg orang Surabaya)
Tapi parahnya dua2nya saya ga mahir, baik bahasa padang maupun bahasa jawa krama inggil, yang fasih cuma bahasa indonesia sama bahasa suroboyo-an.haha
Sedangkan anak2nya sendiri juga sering menyepelekannya, hal yang sama terjadi pada bahasa indonesia. tapi karena bahasa indonesia banyak digunakan di berbagai media, jadinya sedikit tertolong lah
Saya dulu sempat mendengar kalau bahasa daerah akan dihapus dari kurikulum(gosip murid2 jaman dulu sih :p). Pertama sih seneng, soalnya nilai bahasa daerahku ga begitu bagus.hehe. Tapi lama-lama jadi khawatir, bagaimana nasibnya bahasa daerah kalau udah ga masuk kurikulum?? Wong sekarang masih ada aja, anak2 banyak yang ga bisa.
Sepertinya pengajaran bahasa daerah di sekolah harus lebih diseriusi, sama seperti bahasa inggris, tapi jangan terlalu ketat juga sih, bisa2 malah jadi pemicu stress murid2.hoho
Anonim:
BalasHapusTerima kasih untuk poin tambahannya dan mau berbagi pengalamannya dengan saya. Orang Jawa juga, toh ternyata jenengan? :)
Yen:
Berarti, Mbak YeN ini masih termasuk saudara dengan Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Hanya bedanya Anda lahir di Jawa. :D
Kalau sejak kecil tinggal di Surabaya, saya percaya agak susah bisa boso, Mbak. Karena di Surabaya percakapan sehari-hari pakai Jawa ngoko (Suroboyoan). Beda kalau di Jogja atau Jateng pada umumnya iklim (lingkungan) masih sangat kental dengan adat istiadat bahasa Jawa, termasuk bahasanya, jadi merasa aneh saja kalau orang sini (Jogja) anak-anaknya tidak bisa boso Jowo.
Saya setuju pengajaran bahasa Jawa harus tetap dipertahankan di sekolah. Dan yang terpenting lagi, peran orang tua juga harus tinggi untuk berusaha mengajari anak-anaknya dengan bahasa daerah.
Anda salah.Harusnya putri dong.Saya kan cewek.hoho :p
BalasHapusSetuju.Mari pertahankan bahasa daerah kita :)
YeN:
BalasHapusYa-ya... maaf, Mbak saya salah sebut. He He He.
aku tak bisane basa ngapak mas nyong ora patia apal basa jawa wetan
BalasHapus