Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis artikel berjudul "Antara Red Ocean, Artikel Aktual, Artikel Sampah dan Artikel Pilar, Pilih Mana?" Dan hasilnya, ada diskusi menarik menanggapi artikel saya tersebut. Terutama tanggapan pada poin tentang penyebutan Artikel Sampah pada Artikel Berita atau Artikel Aktual di blog.
Ada beberapa opini dari blogger lain yang setuju dengan penyebutan saya tersebut tapi ada juga yang sedikit keberatan dengan penyebutan saya yang mengatakan artikel berita sebagai artikel sampah hanya karena alasan artikelnya cepat basi, tak menarik dibaca lagi dan cenderung menjadi sampah bila masa beritanya telah lewat.
Nah, sekarang tiba-tiba saya jadi teringat, terlintas di benak saya sebuah aliran jurnalisme yang bernama: Jurnalisme Sastrawi. Dan saya berpendapat mungkin ini genre yang paling cocok untuk model penulisan artikel berita di blog. Selain model penulisan yang pernah saya sebut bisa mencontoh model penulisan opini berita ala editorial yang biasa dilakukan media untuk mengupas berita-berita aktual di media.
Apa itu sebenarnya aliran Jurnalisme Sastrawi? Maaf, saya bukan seorang jurnalis jika Anda seorang jurnalis mohon Anda luruskan apabila cara menerjemahkan saya ada yang salah. Jurnalisme Sastrawi adalah Literary Journalism atau juga dikenal sebagai narrative reporting, kalau diterjemahkan adalah salah satu aliran dalam jurnalisme yang menggabungkan sebuah laporan jurnalistik berita dengan sastra.
Hem, mungkin Anda bertanya bagaimana mungkin keduanya bisa digabung? Bukankah produk jurnalis itu jelas-jelas berbeda 180 derajat dengan produk tulisan sastra? Apa mungkin keduanya bisa digabung? Terus produknya sendiri nanti jadi seperti apa? Tulisan fiksi apa nonfiksi?
Yang jelas produk tulisan Jurnalisme Sastrawi tetap berada di ranah fakta atau nonfiksi, sama seperti semua tulisan produk jurnalisme umumnya seperti berita dan feature. Bedanya, pada aliran Jurnalisme Sastrawi ditulis dengan model seperti cerita atau tulisan sastra. Tidak sekedar menulis dengan prinsip 5W 1H saja tapi ditulis lebih dalam lagi. Yaitu ditulis lengkap dengan gaya narasi panjang, ada karakter tokoh, konflik, emosi, plot atau alur, setting dan sebagainya. Benar-benar mirip tulisan sastra. Hanya bedanya sastra pada Jurnalisme Sastrawi bukan produk cerita fiksi seperti cerita dalam karya sastra namun tetap tulisan nonfiksi.
Kalau Anda ingin tahu contoh tulisan beraliran Jurnalisme Sastrawi, silahkan Anda baca Buku Jurnalime Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat terbitan Pantau. Dalam buku ini di dalam kata pengantar yang ditulis oleh Andreas Harsono akan dijelaskan secara lebih mendetil apa itu Jurnalisme Sastrawi berikut contoh-contoh tulisannya.
Masih tentang buku tersebut. Di salah satu babnya Anda akan disodori tulisan menarik Coen Husain Pontoh berjudul: "Konflik Nan Tak Kunjung Padam" yang bercerita bagaimana dulu Goenawan Mohamad awal mendirikan majalah Tempo, terus adanya konflik secara terus menerus yang melanda management majalah Tempo hingga sekarang, ditulis dengan gaya sastra yang amat memikat
Selain model penulisan berita secara sastrawi dengan Jurnalisme Sastrawi, ada juga genre penulisan berita yang sebetulnya juga cocok diterapkan di blog. Apa itu? Yaitu menulis artikel berita bergaya seperti feature. Mengapa feature? Karena jenis tulisan feature meski sama-sama menulis tentang berita tapi karena cara ngemas beritanya sedikit lebih dalam, tidak hanya sekedar menekankan aspek straight news maka tulisannya tidak cepat basi.
Lebih lanjut, tulisan feature adalah tulisan kreatif yang memang dirancang untuk memberi informasi sambil menghibur tentang suatu kejadian situasi atau aspek kehidupan seseorang. Feature lebih menekankan kepada unsur kreativitas (dalam penciptaan), informatif (isinya) dan menghibur (gaya penulisannya) dan boleh subyektif dalam penuturannya.
Dimana biasanya bisa dijumpai contoh tulisan jenis feature? Tulisan feature karena sifatnya yang tak terikat oleh waktu maka biasanya banyak dijumpai atau ditulis di kolom koran-koran edisi minggu, tabloid dan majalah. Tetapi jika Anda masih membutuhkan penjelasan lebih detil lagi tentang apa dan bagaimana cara menulis feature, silahkan baca di blognya Susandi. Di sana Anda akan dijelaskan dengan sangat lengkap dan mendetil.
Akhirnya, saya hanya bisa memberikan sebuah tawaran dan pilihan. Sekarang pilihan kembali terbuka buat Anda. Mau tetap menulis model artikel seperti artikel aktual berita yang beresiko cepat basi dan menjadi sampah, ataukah mengubah haluan penulisan artikel berita blog Anda ke aliran Jurnalisme Sastrawi dan feature. Semua kembali lagi kepada hak Anda untuk memilih.
Sumber Foto: Handwriting
terima kasih referensinya, mas joko. :)
BalasHapuskalo saya cuma tahu jurnalisme sastrawi ya milisnya. soalnya saya ikutan tapi engga pernah buka :p
at least, dengan memilih genre jurnalisme sastrawi, sang narablog akan lebih serius dalam memposting. entah saya berhak menilai serius tidaknya orang lain atau tidak. cuman, mendapati blog yang berisi berita copas, saya enggan balik lagi.
BalasHapuskalaupun memilih jurnalisme sastrawi, tetap saja dia harus bertarung dengan tempo atau kompas. (lebih-lebih tempo--apalagi ada blog catatan pinggirnya GM)
jadi yah, gud luck aja deh bagi yang blogger yang memilih blog berita. hehehe
memangnya blog saya petarung yang baik diantara blog personal yang bertebaran?? well, I'm not blogging as a contender, but as person. (heeeh, ikut nimbrung ya)
Nomor tiga
BalasHapuspak joko artikelnya kok jadi beralih ke ilmu mengarang padahal awal-awalnya kan tentang SEO, dan di tulisan pak joko kok enggak ada artikel tentang kelistrikan, sesuai dengan profesi bapak.
hendra@ memangnya kenapa?? (so' mewakili, qeqeqeq, peace om)
BalasHapusandi sakab:
BalasHapusSama-sama, Mas Andi. Semoga bermanfaat.
Huda Tula:
Ya, benar, Mas Huda akan bertarung dengan model-model tulisan seperti punya Tempo. Kalau kolom Caping punya Goenawan Mohammad, itu yang paling saya tunggu setiap berkunjung ke website Tempo.
Tapi bagi yang suka dengan tantangan, kenapa tidak dicoba? HeHe
hendra comunity:
Ilmu mengarang? HaHaHa. Saya hanya mengikuti mood aja, Mas Hendra karena kebetulan tema itu yang terlintas di kepala saya akhir-akhir ini. Kalau tema-tema tentang listrik, oke nanti akan saya tulis kalau ada yang perlu disharing.
Jujur, saya masih agak bingung untuk menulis model feature. Tapi berarti muatan informasinya tidak mudah basi ya kalau begitu Pak. Yang jadi kendala bagi saya mungkin bagaimana bisa menghibur itu. Apakah salah satu caranya dengan menyelipkan guyonan dalam tulisan?
BalasHapuswalah,kalau jurnalisme sastrawi tingkatan fase-nya masih jauh di atas saya mas...
BalasHapusnggak akan mampu jika harus mengejar fase jurnalisme sastrawi...sepertinya saya lebih cocok jurnalisme sak karepe dewe..
saya lebih suka menuliskan apa yang saya lihat..
apa yang saya dengar...
apa yang saya rasakan...
dan ketika menemukan kerisauan,saat itulah saya harus menulis....
dan style tulisan-nya yo style-nya wong nganjuk,kalaupun toh suatu saat saya belajar modul jurnalisme segebok-pun,style juga nggak akan hilang...
Saya sama sekali tidak ngerti dengan keduanya. Buat saya, saat ini keduanya masih di luar kemampuan.
BalasHapusSaya saat ini masih belajar menulis artikel. Kalau dihitung-hitung sepertinya tidak sampai 10 artikel yang pernah saya tulis. Untuk sekarang, mengingat posisi saya masih belajar, saya tidak memikirkan masalah gaya. Yang penting bisa menuliskan dulu apa yang terpikir.
Iskandaria:
BalasHapusMasih bingung, ya Mas Is? Maaf, saya juga bukan seorang jurnalis tapi saya coba bantu jawab. Simpelnya begini, feature itu lebih tepatnya menulis berita dengan gaya seperti majalah, bukan seperti gaya koran.
Perbedaannya ada dimana? Coba langsung lihat contoh saja, amati cara penulisan sebuah berita antara majalah dengan koran. Nanti Mas Is akan tahu perbedaannya.
Widodo:
Sekali lagi ini hanya pilihan, Mas Widodo. Yang namanya pilihan boleh dipilih, boleh tidak. Termasuk sampean juga boleh memilih "ATAU" yang ada ditengah-tengahnya. :)
Jeprie:
Mas Jeprie, yang disebut gaya feature dan sastrawi di sini jangan dianalogikan seperti style (gaya) dalam melukis tapi lebih kepada bagaimana cara ngemas dan bagaimana ngambil angle dalam membidik berita agar tulisan kita jadi eklusif, tidak tampak biasa (lempang) seperti berita pada umumnya. Meskipun berita yang kita tulis sama.
saya tidak mengerti keduanya. Kelihatannya apa yang dijelaskan di atas seperti di tulisan2 blog.liputan6.com. benar gak??
BalasHapusSoal sampah, faktanya, kalau jual bisa laku. Koran bekas juga. Just IMO.
yang pasti ingin mengubah haluan penulisan ke aliran Jurnalisme Sastrawi dan feature donk gan,,tapi masih tahap belajar nich...
BalasHapusimroee:
BalasHapusDengan bisa memberi contoh artinya Mas Imroee bukan orang yang samasekali tidak mengerti. :D
Sampah itu. Oh, sampah lagi. Just Kidding, Mas. He2
konsultan pajak:
Saya pun juga masih tahap belajar, Bos. Sama juga.
I just added your blog site to my blogroll, I pray you would give some thought to doing the same.
BalasHapussaya mencoba untuk menuliskan artikel travel blog saya dengan nada feature. Tapi saya belum yakin betul. apakah seperti ini sudah jadi artikel feature? http://escaperrzz.blogspot.com/2013/12/kita-berpisah-di-gili-kondo.html
BalasHapus