Di artikel saya sebelumnya, baca "3 Kerugian Kalau Anda Tidak Suka Menulis" sempat saya ada diskusi menarik dengan dua orang sahabat blogger saya, Mas Widodo dan Mbak Hani tentang apakah seorang penulis yang baik sekaligus seorang pembicara yang baik. Dan begitu pun sebaliknya, apakah seorang pembicara yang baik sekaligus juga penulis yang baik.
Kalau dalam contoh tulisan saya kemarin sempat saya berikan contoh kasus. Prakteknya, banyak kawan-kawan saya di level manager yang pandai berbicara, pandai memimpin meeting (rapat) tapi tulisannya hanya biasa-biasa saja, tak semenarik bicaranya bahkan beberapa diantaranya samasekali tak bisa menulis.
Kalau menurut pendapat Anda bagaimana seharusnya? Apakah keahlian menulis dan berbicara memang seharusnya berkorelasi positif? Atau apakah keahlian menulis yang lebih sulit dari berbicara? Atau sebaliknya, keahlian berbicara lebih sulit ketimbang menulis?
Sebelum Anda menjawab pertanyaan saya di atas ada baiknya Anda simak ketiga contoh tokoh di bawah ini. Tokoh ini sangat terkenal dengan keahlian berbicaranya dan sekaligus salah satunya juga pintar menulis. Tokoh pertama seorang dai kondang sejuta umat bernama K.H. Zainuddin MZ, tokoh kedua seorang sastrawan, wartawan juga seorang filsuf (pemikir) bernama Goenawan Mohamad. Dan tokoh ketiga bernama Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Mari kita bahas satu persatu.
K.H. Zainuddin MZ
Siapa yang tak kenal dengan tokoh K.H. Zainuddin MZ? Tokoh ini sangat terkenal dengan ceramahnya yang memikat, bisa menyihir banyak jamaahnya karena kepiawaian tokoh ini dalam memberikan pidato atau ceramah agamanya. K.H. Zainuddin MZ adalah seorang orator ulung. Semua orang tak akan bisa menyangkal fakta ini.
Namun bagaimana dengan tulisannya?
Ada seorang penulis bernama M. Arief Hakim yang mengatakan tulisan K.H. Zainuddin MZ ternyata tak sebagus pidatonya. Tulisannya, masih kata penulis itu, terasa dangkal, tidak komunikatif, dan tidak sistematis. Selain itu, gaya bahasa dan kalimat-kalimat yang dirangkainya juga terasa kurang bagus dan kurang menarik.
Benarkah begitu? Ehm, kalau saya sendiri memang belum pernah menemui dan membaca satu pun tulisan K.H. Zainuddin MZ di media. Atau apakah ini tanda atau salah satu bukti bahwa K.H. Zainuddin MZ memang kurang piawai menulis sehingga amat jarang menulis dan tulisannya tak banyak yang kita temui di media?
Contoh pertama, K.H. Zainuddin MZ ini menegaskan fakta bahwa keahlian berbicara ternyata tidak sekaligus berkorelasi positif atau otomatis juga pintar menulis.
Goenawan Mohammad
Goenawan Mohamad adalah salah satu contoh tokoh idealis yang keberadannya satu persatu mulai langka di negeri ini. Anda masih ingat dengan peristiwa beberapa bulan yang lalu ketika Goenawan Mohamad mengembalikan uang hadiah dari Bakrie Award beserta bunganya kepada yayasan milik Aburizal Bakrie. Silahkan baca artikel saya yang ini, baca "Alasan Goenawan Mohamad Mengembalikan Bakrie Award Membuat Saya Jadi Sedih" kalau Anda belum sempat membacanya.
Goenawan Mohamad ini adalah salah satu contoh penulis yang baik. Tulisan-tulisan Goenawan Mohamad sangat memikat karena tulisannya sangat terjaga tata bahasa, irama dan konsistensi kualitasnya di setiap tulisannya. Tetapi, sekaligus tulisannya punya banyak variasi dalam pembukaan dan ending dengan nada, cara, dan teknik yang sangat bervariasi, sehingga terasa indah dan enak dibaca. Tulisan Goenawan Mohamad tidak berkesan menggurui tapi mengajak berpikir kepada pembacanya.
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbicara Goenawan Mohamad? Ternyata kemampuan berbicara Goenawan Mohamad tak sebagus tulisannya, sebagus lirik puisi-puisi ciptaannya yang sangat kuat dan memukau. Gaya dan retorika pidatonya cenderung datar-datar saja dan kurang memikat. Saya mengatakan kurang memikat di sini bukan tidak berbobot, ya. Tidak. Tapi hanya cara menyampaikannya saja yang kurang menarik.
Saya tak hendak mensejajarkan diri dengan Goenawan Mohamad, tetapi faktanya betapa apa yang terjadi pada Goenawan Mohamad ini sedikit mirip dengan kasus diri saya. Saya merasa, meski waktu dulu masih menjadi seorang supervisor di Malang pernah juara 2 dalam lomba presentasi sesama teman supervisor di perusahaan tempat saya bekerja tapi saya tetap merasa gaya pidato atau presentasi saya jelek. Saya boleh Narsis sedikit, tetap tak semenarik seperti tulisan saya yang kata beberapa kawan saya katanya menarik. He He.
Semoga Anda setuju dengan saya, terlebih kalau Anda adalah seorang intelektual sebuah pidato menarik atau tidak seharusnya bukan dari bungkusnya, cara menyampaikannya, tapi dari bobot isi materi atau pesan yang disampaikannya. Betul?
Emha Ainun Nadjib
Sengaja saya tak memberikan predikat apa-apa kepada tokoh satu ini di awal paragaraf saya di muka. Cak Nun begitu Emha Ainun Nadjib sering disapa adalah salah satu tokoh langka yang tak banyak dan sedikit mirip dengan Goenawan Mohamad karena kelangkaannya ini. Mengapa langka? Karena sulitnya mendiskripsikan tokoh yang satu ini dengan baik yang lebih tepat tokoh apa Cak Nun ini. Karena hampir semua predikat bisa disandanganya dengan baik. Dibilang seorang Agamawan iya karena Cak Nun memang salah satu tokoh Islam. Namun selain dia seorang tokoh agama, Cak Nun juga sekaligus seorang penulis, seniman, budayawan, sastrawan, dan sekaligus cendekiawan.
Kalau Anda tetap bertanya ke saya Cak Nun itu sebetulnya yang paling pas tokoh apa? Saya tetap hanya bisa bilang saya tak bisa jawab karena sangat jarang menjumpai seorang tokoh yang bisa menguasai banyak talenta seperti Cak Nun ini.
Nah, dalam hal menulis dan berbicara pun demikian, kemampuan menulis Cak Nun sudah tidak bisa diragukan lagi karena sudah banyak buku-bukunya tersebar di toko buku, baik buku sastra seperti kumpulan cerpen, novel dan buku-buku tentang politik dan agama. Dan yang terpenting kemampuan pidato atau berbicaranya sama-sama baiknya dengan kemampuan menulisnya.
Terakhir sekarang kesimpulannya: Apakah Keahlian Menulis Berkorelasi Positif Dengan Kemampuan Berbicara? Saya rasa pertanyaan ini kurang tepat jadi Anda tidak usah repot-repot menjawabnya karena prakteknya kebanyakan memang sangat jarang menjumpai orang yang bisa seperti tokoh Cak Nun yang multi talenta itu, pandai menulis juga pandai berbicara. Yang lebih tepat pertanyaannya sebetulnya adalah Apakah seorang pembaca yang baik adalah sekaligus penulis yang baik?
Nah, jika Anda tertarik dengan tulis-menulis dan ingin tahu bagaimana ciri-ciri pembaca yang baik, silahkan lanjutkan baca artikel saya yang ini "Membaca Kreatif Untuk Kreatif Menulis" dan artikel "Inilah 15 Ciri Pembaca Kreatif". Semoga tulisan ini bermanfaat dan selamat menulis!
Sumber Foto: Writing & Speaking
justru para-para penulis yang idealis terkadang dalam kesehariannya lebih banyak diam daripada bicara. namun saat dia menulis tulisanya lebih tajam daripada pisau.
BalasHapuskenapa?
dia lebih banyak berpikir dan merenung seputar kehidupan di banding hanya cuap-cuap yang natinya tergelincir dalam kata-katanya.
karakter penulis idealis memang langka. tapi mereka memiliki kekuatan bhasa yang kritis :D
kalau kolerasi secara langsung sepertinya tidak...
BalasHapustapi setidaknya contoh tokoh-tokoh di atas bisa mendelegasikan kelebihannya untuk menutupi kekurangannya....
ada yang bilang bicara itu lebih sulit...
beberapa pendapat menyatakan menulis lebih sulit..
saya lebih sepakat pendapat ke-2,menulis lebih sulit,bagaimana menjabarkan suatu alam pikiran kita sehingga dengan mudah dapat di mengerti oleh banyak orang...
satu contoh kasus sederhana ...jika di antara pembaca ini ada orang jawa,tentu mengenal kata "mblobor"...biasanya kata ini di ikuti kata kerja...
misal "lukisan itu jelek,karena cat-nya mblobor semua "
deskripsi kata "mblobor" bisa melebar apabila di jabarkan ke dalam tulisan,tapi akan akan langsung terbentuk pola bila yang membaca orang jawa,..nah di sini akhirnya ketahuan bahwa memang menulis tidak mudah...
untuk tokoh ke-3.. Emha Ainun Najib..saya nggak bisa komentar..tidak obyektif..karena beliau adalah paman saya...biar orahg lain saja yang berkomentar mengenai beliau...
Apakah kemampuan membaca berkolerasi positif dengan kemampuan menulis?
BalasHapussebenarnya di kampus saya ada beberapa skripsi yang membhas tentang hal ini
namun bukan kemampuan membaca yang dijadikan acuan melainkan kebiasaan membaca. Banyak orang yang memiliki kemampuan membaca sangat baik namun tidak menggunakan kemampuannya tersebut dalam kesehariannya sehingga hasil menulisnya juga kemungkinan besar kurang baik.
Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa besi pun akan tajam apabila selalu diasah, begitu juga dengan menulis, selain dengan mengasahnya melalui latihan menulis, cara lainnya adalah dengan mengasah melalui membaca...
intinya adalah pengasahan yang baik akan menghasilkan besi yang tajam...
saya kok dipanggil Mbak? panggil dedek kenapa? wkwkwkkw
:D
Jawaban pertanyaan ini harusnya melalui hasil penelitian jika ingin hasil yang valid. Kita tidak bisa hanya mengambil beberapa sample tanpa membatasi pada parameter tertentu, misalnya pada kategori umur sekian, tingkat pendidikan, lingkungan sosialnya, dst.
BalasHapusSemakin banyak membaca, semakin banyak yang kita tahu >> Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita lupa >> Semakin banyak yang kita lupa, semakin sedikit yang kita tahu >> Jadi kenapa kita sibuk-sibuk membaca?
BalasHapusKayaknya joke ini tidak berlaku untuk soal Menulis.
hanya bisa komen kayak gini karena aku tidak memiliki keduanya. Tapi, baik penulis ataupun pembicara, aku kagum sama orang yang memiliki salah satu atau keduanya dari kemampuan tersebut.
Good job, I like it! thanks.
Saya juga tidak perlu menjawab pertanyaan yang diajukan karena memang semua pasti sudah punya jawaban sama..hehe
BalasHapusKalau saya tergolong yang lebih mahir berbicara dalam bahasa tertulis daripada lisan. Pada dasarnya saya pendiam Pak. Saya baru bicara kalau perlu aja dan kurang pandai berbasa-basi. Mungkin orang lain menilai saya sombong kalau banyak diam. Padahal yang sebenarnya, saya tidak pandai berbasa-basi.
Andi Sakab:
BalasHapusYa, Mas Andi. Penulis idealis rata-rata tajam dan kritis tulisannya. Dan sepertinya memang akan semakin langka karena tergerus oleh jaman.
Widodo:
Wah, asyik Mas Widodo ternyata masih kerabatnya Cak Nun.
Untuk kasus Mas Widodo berarti masih lebih sulit menulis ketimbang berbicara, betul? Berarti mahir berpidato kalau begitu? :))
Kalau membahas proses seharusnya begitu urutannya. Orang lahir diawali dari belajar mendengar dulu, lalu belajar berbicara, membaca dan akhirnya belajar menulis.
Rohani Syawaliah:
Iya aku lupa karena terbawa bahasa formal dalam artikelnya. Baiklah saya panggil "my Honey" lagi aja.:D
Iya benar. Membaca saja tanpa terus dilatih untuk terus latihan menulis sampai kapanpun tetap tak akan mahir menulis.
Dan terkait membaca itu, seorang penulis seharusnya menerapkan cara Membaca Kreatif agar memudahkannya untuk menulis. Jangan hanya membaca seperti cara membaca orang biasa tapi lakukanlah teknik Membaca analitis sekaligus membaca sintopikal.
Jeprie:
Makanya saya tak menyimpulkan dengan memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan tersebut, Mas Jeprie. Kalaupun saya memberi tiga contoh di tulisan ini sekedar sebagai ilustrasi saja. Saya ambil untuk mewakili ketiga kemungkinan dari jawabannya.
imroee:
Saya baru tahu ada joke seperti itu, Mas Imroee. :))
Benar, menulis itu seperti merangkaikan kembali semua bacaan, ingatan yang pernah kita baca. Jika orang tak suka menulis maka bukan tidak mungkin joke itu bisa saja terjadi.
iskandaria:
Mas Iskandaria ternyata sifat2nya mirip dengan saya. Pendiam, tak suka banyak omong, tak suka dengan basa-basi dan lebih senang nulis daripada berbicara.
Makanya, saya juga nyerah kalau disuruh pidato panjang sampai berbusa-busa. Mending saya nulis saja.
Kalau saya sendiri, meski tulisannya ga bagus, saya lebih nyaman mengutarakan pendapat saya lewat tulisan. kalau bicara saya cenderung gagap. Kadang putus asa duluan--bingung memilih kata yang tepat. dalam komunikasi langsung, efek atau feedbacknya juga langsung. Ini menyebabkan pesan sebenarnya sering terdistorsi. (kalau tulisan kan efeknya tertunda).
BalasHapusintinya sih, saya merasa lebih mudah mengontrol komunikasi saya lewat tulisan.
kalau perkara skill mana yang lebih unggul, saya rasa keduanya punya keunggulan masing-masing. *Tapi, mengingat tonggak peradaban manusia ditandai dengan ditemukannya abjad, saya rasa, orang yang pandai menulis tetap lebih keren (pendapat pribadi aja si).
kalau seandainya ada yang bagus di kedua=duanya, menurut saya itu mungkin juga. Menulis dan Berbicara itu skill. jadi bisa diasah.
Huda Tula:
BalasHapusPada saat kita menulis, betul Mas Huda kesempatan untuk berpikir lebih lama dan bisa ditunda beberapa saat kalau ada yang perlu ditelaah lagi, sementara berpidato harus cepat menyampaikan kalau di depan audiance.
Kalau masalah skill menulis lebih unggul dari kemampuan berbicara, ini bisa tergantung masing-masing orang, sih, Mas. Tapi kalau saya mau jujur seharusnya, ya karena prakteknya saya lebih sering menjumpai orang mahir berbicara tapi gagap menulis. Makanya sampai ada jasa ghost writer yang menjembatani kendala ini.
Bisa ya, bisa juga tidak. Back to the person.
BalasHapusPada tiga contoh diatas sudah menjawab pertanyaannya.
Nope. Saya tak setuju pak. Sepertinya saya menganut faham Goenawan Moehamad yang lebih lancar menuangkan ide lewat tulisan, ketimbang vokal. Jadi korelasi itu relatif.
BalasHapusKalau disamaratakan bahwa keahlian menulis 'harus' ada korelasi dgn kemampuan berbicara, wow, sangat tidak menarik. Justru dunia makin menarik karena ada perbedaan2 itu, bukan? :D
Sejauh ini saya enjoy writing, not talking.
Termasuk twitteran hehe :D
aldy:
BalasHapusMas Aldy ternyata jeli, bisa menjawabnya. Benar, jawabannya adalah sudah ada pada tiga contoh saya itu.
Darin:
Sama seperti jawaban saya kepada Mas Jeprie. Pertanyaan saya ini sebetulnya bersayap sebagai sebuah pertanyaan retoris yang tak perlu jawaban, Mas Darin. Karena korelasinya memang sangat relatif, seperti contoh2 saya itu. Dan di akhir tulisan saya sudah saya tegaskan agar tak perlu repot-repot dijawab. :D
Saya sebetulnya sama seperti Goenawan Mohamad, sama seperti Mas Darin, lebih mudah menulis ketimbang disuruh berpidato.
Hem, mungkin karena kita berdiri dalam satu prespektif yang sama, sama2 dari sudut penulis (blogger). Barangkali setelah ini ada yang berpendapat lain, sebaliknya. Mungkin dari yang bukan penulis.
Hmmm...Saya rasa memang ada hubungannya bro,..
BalasHapussalam kenal..
harus ada studi kasus terlebih dulu mas utk menentukan apakah memang ada korelasi antara keduanya.. minimal setengah masyarakat pulau jawa gitu... loh...??? kidding.. tapi saya sependapat sama yg mengatakan mesti ada penelitian terlebih dulu :)
BalasHapusSatria Yudha:
BalasHapusWah, Mas Satria satu-satunya yang menjawab ada hubungannya. Oke, Mas. Salam kenal juga.
Masjid Kita:
Kalau harus studi kasus sampai sebanyak itu (1/2 pulau Jawa) biayanya siapa yang nanggung, ya? HaHaHa. Saya usul gimana kalau Anda saja yang ngadakan penelitian. :D
Pak Joko, saya pernah nonton Kyai Kanjengnya Cak Nun. Memang, tidak hanya menulis, berbicara, menyanyi, bermain musik, aransemen musik... benar-benar multi talenta
BalasHapusDan sisi religiusnya tetap diutamakan. Itulah yang saya paling kagumi, tetap menyisihkan waktu beribadah. Setiap manggung ditemani istrinya Novia Kolopaking.
Semua talenta dimanfaatkan untuk mengingatkan tentang ajaran Islam. Suatu bentuk rasa syukur pada Allah tentu saja.
Manusia yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Apapun talenta yang dimiliki semoga digunakan untuk memberikan manfaat bagi yang lain...
Ami:
BalasHapusYa, Mbak Ami saya juga pernah nonton sekali Kyai Kanjeng waktu masih tinggal di Sidoarjo. Cak Nun adalah salah satu contih manusia terbaik itu yang mengabdikan dirinya kepada jalan Alloh.
woalah aku dipanggil my honey...
BalasHapusiya deh Mbah...
silakan dipanggil my honey aja...
:D
Rohani Syawaliah:
BalasHapusAda apa, sayang? Dipanggil "my honey" enak, kan? Daripada tak panggil cucuku. HaHaHa :-P
eh ada yang pasang iklan tuh
BalasHapusberapa biaya nya?
saya sekalian mau pasang iklan biro jodoh ni
Memang setiap orang pasti punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, tapi dari tokoh diatas mungkin Cak Nun salah satu tokoh yang mampu mengkolaborasikan kemampuan menulis dan berbicara dengan baik. Saya adalah salah satu orang yang kagum kepada beliau.
BalasHapusRohani Syawaliah:
BalasHapusMau pasang iklan? Gratis, kok. Apalagi untuk cari jodoh tambah gratis. Tapi ada syaratnya harus dengan adminnya. :))
Sukadi:
Berarti kita berdua sama-sama pengagum Cak Nun kalau gitu, Mas Sukadi. :)
Jawaban pertanyaan ini harusnya melalui penelitian. Subjek penelitian juga tidak harus setengah pulau Jawa. Itulah gunanya statistik, kita bisa mengambil sampling sesedikit mungkin tapi tetap mewakili.
BalasHapusSaya akan jawab berdasarkan sudut pandang saya sebagai penulis. Saya lebih bagus dalam menulis daripada berbicara. Berbicara saya sangat jelek dan ini tidak ada kaitannya dengan skill menulis saya. Saya tidak bisa berbicara dengan baik karena saya memilih tidak belajar menjadi pembicara yang baik. Jadi, ini masalah pilihan tidak ada hubungannya dengan skill menulis.
Jeprie:
BalasHapusDi artikel ini secara eksplisit saya memang tak menegaskan kalau keahlian menulis tidak berkorelasi positif dengan berbicara apa tidak. Tapi mungkin saya perlu menegaskan sekarang. Keahlian menulis dan berbicara sepertinya adalah dua hal yang berbeda. Mengapa berbeda? Karena masing-masing punya tingkat kesulitan yang berbeda pula sehingga tidak bisa untuk saling dihubungkannya. Saya sependapat dengan Mas Jeprie.
Mungkin yang paling tepat kemampuan menulis memudahkan untuk berbicara. Itu saja. Karena orang yang terbiasa menulis kerangka berpikirnya biasanya sangat sistematis. Dan saat berbicara seharusnya juga begitu. Sistematis dalam hal menyampaikan pidatonya. Masalah demam panggung dan segala macam tetap butuh latihan sendiri dan tentu jam terbang juga ya dan ini tidak bisa didapat dari menulis.
Saya rasa tidak juga pak. Saya biasanya menulis artikel berhari-hari. Prosesnya lama karena merangkum dari banyak referensi. Sebagian dibuang, sebagian lagi materi baru.
BalasHapusKalau berbicara dalam arti pada waktu tertentu bukan spontan, saya setuju kebiasaan menulis memang membantu.
Intinya memang harus menguasai empat keterampilan berbahasa.... hehehhe...
BalasHapusJeprie:
BalasHapusApa yang Mas Jeprie lakukan itu namanya proses membaca sintopikal untuk menulis.
Ya, yang penting intinya menulis bisa membantu memudahkan proses berbicara. Sepakat, Mas Jeprie. :)
Rohani Syawaliah:
Terima kasih my honey. Tambahannya mantap. Jadi ingat proses belajar bahasa memang harus menguasai ke-4 keterampilan itu. (Listening, Reading, Speaking dan Writing):)
Yang pasti, ada alasan ilmiah dan psikologis mengapa antara menulis dan berbicara tidak atau jarang berkorelasi secara positif. Alasan ilmiahnya cukup sederhana, yakni kecepatan gerak otak dan gerakan otot dalam menulis/mengetik itu tidak sinkron. Orang yang jago bicara/pidato akan sulit menulis dengan baik, karena gerak otak untuk mengartikulasi konsep dalam bentuk ucapan jauh lebih cepat dibanding kecepatan otot/tangan untuk menulis. Otak Anda sudah menyiapkan satu konsep kalimat per detik (misalnya) tapi ketika itu akan dituangkan dalam bentuk tulisan, dibutuhkan waktu sekitar lima sampai sepuluh detik. Akibatnya, konsep satu paragraf yang telah disiapkan otak menjadi berantakan dan harus diulang-ulang untuk bisa disalin dalam bentuk tulisan. Makanya, berantakan pula tulisannya.
BalasHapusSama halnya dengan membaca nyaring. Dalam membaca (nyaring) sebuah paragraf sering orang keseleo lidah karena kecepatan otak dan mata melebihi kecepatan otot titik-titik artikulasi alat ucap (terutama bibir dan lidah). Dalam membaca, mata dan otak Anda bisa melewati lima sampai tujuh kata pe detik, tapi bibir dan lidah Anda hanya bisa mengucapkan dua atau tiga kata. Maka terjadilah keseleo lidah, atau Anda membaca tidak tepat kata per kata, melainkan Anda hanya akan memilih frasa atau kalimat penting saja untuk dibaca lengkap dan nyaring.
Sem:
BalasHapusTerima kasih, Pak Sam untuk tambahan opininya. Komentar bapak melengkapi artikel saya. :)