
Karena saya tak tahu dalil atau hadistnya, saya hanya manggut-mangut saja diberi wejangan itu oleh dokternya. Dan kebetulan kala itu bahkan hingga sekarang saya pun belum tertarik untuk ikut program asuransi jiwa perusahaan insurance manapun. Beberapa asuransi jiwa yang saya ikuti hanya memproteksi jiwa saya secara tidak langsung, bukan semata-mata seperti Menukar Kematian Dengan Segebok Uang seperti yang ada dalam asuransi jiwa.
Saya boleh cerita sedikit perihal asuransi saya itu? Pertama, saya mengasuransikan jiwa saya dalam Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Jika saya tiba-tiba meninggal atau Mati Muda sebelum kredit lunas maka bank BNI ― tempat saya ambil kredit rumah ― akan membebaskan ahli waris, istri dan anak-anak saya untuk melunasi hutang KPR-nya. Kedua, asuransi pendidikan anak saya juga begitu memberikan jaminan bebas bayar premi jika saya meninggal sebelum jatuh tempo asuransinya. Ketiga, kartu kredit saya juga begitu. Jika saya meninggalkan saldo hutang di kartu kredit secara otomatis akan dianggap lunas oleh pihak bank penerbit kartu kredit saya.

Oke, sekarang lupakan sejenak tentang halal dan haram pada asuransi jiwa. Saya ada cerita menarik. Di Surabaya, ada salah satu tetangga mertua saya beberapa tahun lalu baru saja kehilangan suaminya. Suaminya meninggal dunia di daerah asalnya di Ponorogo. Ibu tadi kemudian pulang mengurus kematian suaminya. Sebagaimana umumnya orang yang kesusahan banyak tetangganya berdatangan ke rumah ibu tersebut untuk melayat. Sambil melayat para tetangga tak lupa memberi amlop kepada ibu tersebut sebagai tanda bela sungkawa.
Sampai disitu kisahnya saya anggap masih normal dan wajar. Karena dimana-mana umumnya begitu, kan kalau melayat pasti kebanyakan memberi amplop sebagai tanda bela sungkawa, betul?
Nah, kisah itu pun kemudian berlanjut jadi cerita yang mengejutkan. Selesai mengurus pemakaman beberapa hari kemudian ibu itu pulang balik lagi ke rumahnya yang ada di Surabaya. Kemudian tanpa diduga ibu itu satu persatu mendatangi rumah-rumah para tetangganya yang sudah memberi amplop saat melayat ke rumahnya kemarin. Ia mengembalikan satu persatu amplop berisi uang yang diberikan oleh tetangganya.
Dikembalikan? Iya. Anda ingin tahu apa alasan ibu itu waktu mengembalikan uang amplop tadi? Dia bercerita tak bisa menerima pemberian itu. Alasannya, dia sedih karena merasa seperti menukar kematian suaminya dengan uang. Ia jadi sedih teringat suaminya yang sudah meninggal waktu memegang uang itu sehingga tak mau menerima pemberian itu. Itu yang menjadi alasannya.
Deg! Bagai ditampar saya amat tersentuh haru mendengar cerita itu dari ibu mertua saya. Jaman sekarang, kok masih ada, ya orang yang seperti itu? Ini sebuah ironi yang menggembirakan diantara banyaknya orang yang begitu tamak dan akan melakukan segala cara demi mendapatkan uang. Tak peduli barokah, halal dan haram. Betul?
Pertanyaan saya di akhir posting ini: Jika memang asuransi jiwa itu benar diharamkan dalam Islam apakah salah satunya itu yang menjadi alasannya? Yaitu karena tak pantas menukar nyawa seorang manusia dengan segebok uang? Bagaimana kalau menurut pendapat Anda?
Image credit: Life Insurance|Asuransi Jiwa