Membaca tulisan menarik yang berjudul “
Keislaman Indonesia” yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta di Harian Kompas Sabtu 5 November 2011 lalu —yang mengutip peletakkan Indonesia dalam sebuah penelitian di urutan ke-140 dari 208 negara di dunia yang paling islami— saya jadi ingat dengan pengalaman saya berkunjung ke negeri ginseng
Korea pertengahan Maret tanggal 12-19 Maret 2011 lalu. Bagaimana tidak? Apa yang ditulis Komaruddin Hidayat ini jadi mengingatkan saya akan perilaku orang Korea yang benar-benar lebih islami meskipun Korea bukan negara Islam, ketimbang negara kita yang mayoritas penduduknya Muslim. Sedih!
Ini saya kutip sebagian tulisan saya pada poin ke-3 dalam tulisan “
Fakta-fakta Unik Tentang Negara Korea (1)” terdahulu yang menceritakan perilaku sosial dan kehidupan beragama orang Korea.
Berbeda dengan kebanyakan orang di negara kita yang rata-rata mengenal dan menganut agama sejak kecil karena agama adalah kebanyakan warisan didikan dari orang tua, tetapi di Korea justru tidak. Pendidikan agama di Korea itu nomor yang kesekian, atau tidak dalam skala prioritas kalau dibandingkan dengan mata pelajaran pendidikan umum. Terdengar aneh, kan?Jadi jangan heran kalau orang Korea kebanyakan belum beragama atau baru menganut agama setelah mereka dewasa. Namun, satu hal yang patut saya apresiasi dari orang Korea adalah meski mereka kurang kuat dalam hal agama tapi jangan ditanya moralitas orang Korea rata-rata sangat baik dan sangat disiplin melebihi akhlaq orang yang beragama. Ini bisa saya amati dari perilaku mereka saat berkendara di jalan, tidak membuang sampah dan merokok di sembarang tempat, serta kepatuhan mereka pada norma dan hukum yang berlaku di negaranya tinggi. Ya, mungkin ini ciri-ciri umum negara yang sudah maju. Berbeda dengan negara kita yang masih berkembang sehingga masih butuh proses menuju ke arah ini.Saya juga pernah sedih dan sempat menulis kegundahan hati saya dalam tulisan ini “
Mengapa Sholat Itu Tak Penting?” Dan di artikel ini sempat menerima banyak komentar beragam datang mengomentari artikel saya. Salah satu diantaranya banyak yang bilang katanya Sholat itu tetap penting dan wajib dilakukan tak peduli meski kelakuan kita, maaf tetap bejat.
Kalau Anda seorang Muslim saya tanya pilih mana menjalankan Sholat tapi kelakuan tidak bermoral, ataukah tidak Sholat tapi kelakuan Anda baik? Mana yang akan Anda pilih? Jika Anda terjebak memilih jawaban pertama, Sholat tapi kelakuan tetap bejat, maka tak heran kalau hasil penelitian “
How Islamic are Islamic Countries” dari Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari hasilnya seperti itu. Apa bedanya Anda dengan orang-orang dari negara Islam anggota OKI lainnya yang dalam penelitian rata-rata muncul di urutan ke-139, betul? Ya, Islam hanya dijadikan sebagai simbol dan ritual belaka, karena samasekali tidak tercermin dalam perbuatan kita.
Hem, kalau saya terus terang jika ditanya seperti itu saya tak mau menjawabnya. Jelas saya tak milih dua-duanya.
Sebetulnya apa yang salah dengan pendidikan agama (Islam) di negara kita? Apa yang salah dengan negara kita yang waktu saya kecil guru saya sering cerita bilang ke saya bahwa Indonesia adalah negara timur yang sangat santun perilaku penduduknya, suka tolong menolong dan membantu sesama. Tapi kini? Saya tidak tahu. Silahkan baca sendiri tulisan menarik dari Komaruddin Hidayat di bawah ini untuk mencari jawabannya.
Keislaman IndonesiaOleh Komaruddin HidayatSebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Pengalaman UIN JakartaKesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, Ulama besar Mesir setelah berkunjung ke Eropa.”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di Dunia Arab,” Katanya.
Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak dimana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.
Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.
Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan : ….it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings-at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.
Dari 56 negara OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke -7,Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.
Semarak Dakwah dan ritualHasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam-syahadat, shalat, puasa,zakat, haji-dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah SAW itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama : Keilmuan, Ketakwaan, dan Akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah,menurut penelitian Rehmen dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan : How Islamic are Islamic Polotical Parties? Menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. (Harian Kompas, Sabtu 5 November 2011)