Buku BOM Business Owner Mentality |
Berikut saya nukil sebagian isi dari bab-bab di buku BOM yang menurut saya sangat menarik karena mengungkap beberapa fakta menarik tentang Entreprenerurship dan kegagalan usaha yang dilakukan banyak perusahaan besar. Selamat membaca:
Siapapun bisa terbang kemana saja. Kalau ia lepas dari apa yang mengkukungnya saat ini. Dua dari tiga orang menjawab tertarik untuk menjadi entreprenur, dan 34.9 % diantaranya berkata siap terjun "Bila ada kesempatan"[1]. Dari data tenaga kerja, jumlah pekerja formal kita saat ini ada sekitar 30 juta. Ini berarti ada sekitar 20 juta orang yang punya animo "Calon entreprenur". Mereka punya keinginan dan rasa salut terhadap jiwa dan spirit entreprenurship. Namun menurut Ciputra Foundation, saat ini hanya ada sekitar 0.18 % penduduk indonesia yang jadi Entreprenur. Hanya 2 diantara 1,000 orang yang jadi entreprenur. Kalau banyak yang mau, sedikit yang bisa. Itu berarti ada issue yang belum terungkap. Sebagian besar terjun ke dunia yang amat kompetitif ini dengan trial dan errror. Delapan dari 10 berhenti tengah jalan dan rugi. Boro-boro mau jadi kaya, yang ada malah jadi bangkrut. Halaman buku ini memastikan Anda tidak terjerat pada pola yang sama. Tidak itu saja. Jika spirit entrepreneurship ini dibawa kedalam kultur perseroan, maka perseroan Anda akan melesat, melampau batas penghalang selama ini.
Entreprenerurship itu bukan hanya masalah teknis; bagaimana memilih lokasi toko; kiat memelihara lele; memasarkan tas. Hal teknis telah terlalu banyak dibahas, tetapi hasilnya tidak impacting. Entreprenuership itu soal spirit dan mental alias mindset. Kalau mindset entrepreneur ship nya sudah benar, maka hal teknis tadi baru akan menjadi pemberdaya yang hebat. Bagaimana aplikasi mental entreprenur itu? Berikut ini contohnya.
Benar Anda ingin jadi pengusaha? Kalau iya, ini mental nomor satu yang harus Anda miliki sejak awal: Tidak ada yang mengirim uang kepada entreprenur secara otomatis pada akhir bulan! Apa maksudnya? Kita semua sudah maklum akan fakta tersebut. Yang jarang dipahami adalah konsekwensi mental dari kenyataan tersebut. Pikirkan kembali fakta dari. Mari kita lihat gerbong rangkaian dan konsekwensinya.
Karena tidak ada yang otomatis datang, ia harus mengejar dan mengusahakannya jika ingin melihat sesuatu terjadi. Ia harus membuatnya terjadi. Tidak bisa hanya duduk dan kerja sekedarnya terus berharap hal itu terjadi. Adalah tanggung jawabnya memastikan itu terjadi. Pendirian seperti itu mutlak. Anda menjadi “Tuan’ dari output. Anda menjadi “Programmernya”. Jadi ia tidak bisa menunda-nunda sesuatu. Kalau suatu idea melintas atau ada sesuatu yang harus dikerjakan, itu berarti dikerjakan sekarang. Jadi tidak usaha heran kalau Anda bekerja dan melapor langsung dengan pemilik perseroan, Anda bisa mendapat telpon pada waktu yang tidak terpikirkan.
Hanya dengan mental seperti itu, baru ia bisa mengharapkan dan memastikan cash flownya lancar. Singkat kata ia harus proaktif untuk memastikan sesuatu terjadi; bukan berharap-harap semoga sesuatu datang kepadanya. Ownership sebagai penanggung jawab terhadap kejadian ini harus ada terlebih dahulu. Kalau mental ini saja Anda adopsi dalam perseroan, maka aliran inisiatif tidak akan berhenti. Perilaku kerja di perseroan Anda tidak akan lagi seperti brigade pemadam kebakaran, yang reaktif. Kerena organizational behaviour nya proaktif, Anda tidak akan lagi tiap hari dikejar–kejar masalah ‘penting dan genting’. Anda tidak akan lagi bilang " I don't like monday". Sebaliknya perseroan akan meliki kultur yang vibrant. Orang tidak sabar menunggu fajar, untuk memulai kerja.
Perseroan yang mengadopsi mentalitas bisnis owner, mereka menyongsong, mengejar dan memecahkan tantangan dan mencari solusi sebelum didesak oleh masalah tersebut. Kita menghadapi kegentingan karena menunda mengatasi masalah tersebut ketika ia masih kecil dan jauh. Anda dan saya menghadapi krisis dan hal-hal mendesak terjadi karena kita membiarkan benih masalah itu tumbuh. Kita tidak secara preventif dan proaktif mengatasinya dan mencegahnya sehingga ia berkembang sampai tahap akut. Kita sibuk di hilir karea lalai di hulu. Mengapa orang mengambil setting seperti itu? Mereka berharap semoga masalah itu bisa teratasi dengan sendiri. Tidak berani mengkonfrontasi. Dan hal itulah yang membuat perseroan kita satu per satu berganti pemilik, karena tidak sustainable.
Dibalik semua kegamangan orang untuk memulai langkah, ada FEAR, rasa takut dan ragu yang menjeratnya. Sebuah jerat warisan masa lampau yang melumpuhkan keberanian bertindak. Bagaiaman cara mengatasinya? Dengan perubahan mindset-mentality dan paradigma shifting. Itulah yang ditawarkan dalam buku ini. Begitu Anda paham dan menguasai mindset dan mentalitas entrepreneurship, jerat itu akan kehilangan daya cengkram, Anda bisa melesat seperti kapsul pesawat luar angkasa, yang tidak lagi di peluk gravitasi, Anda melampaui kuasa gravitasi dan terbang bebas.
[1] Survey Perilaku Entreprenurship, Kompas 19 Feb 2012. “ Semangat Wiraswasta”
thanks atas sharing nya pak,
BalasHapusrgds. sampai jumpa lebaran nanti:)
hendrik lim
thanks atas sharing nya pak,
BalasHapusrgds. sampai jumpa lebaran nanti:)
hendrik lim
jadi lah pengusaha yang sukses jangan setengah2 maju terus jangan pantang mundur
BalasHapusMemang benar, setelah doa penuh keyakinan, mental sebagai entrepreneur juga harus dipupuk agar badai untuk menjadi pengusaha kelas dunia bisa terlewati...
BalasHapus